Tantangan Kebijakan Penangkapan Terukur Kementrian Kelautan dan Perikanan 2022

 

 

Lautan di Indonesia adalah sumber kebermanfaatan bagi rakyat Indonesia.  Rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan lautan.  Dalam konteks pembangunan negara Indonesia, lautan menjadi sektor yang diandalkan dalam menopang ekonomi Indonesia, karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan.

Potensi lautan yang besar tentunya diperlukan pengelolaan yang tepat agar hasil yang didapatkan optimal. Indonesia sendiri baru – baru ini mencanangkan kebijakan yang bernama penangkapan terukur yang diungkapkan pada kegiatan Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA-K/L) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di Cikarang Bekasi (10/10/2021).  Kebijakan ini merupakan terobosan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang rencananya akan diimplementasikan pada Januari 2022 mendatang.  Kebijakan penangkapan terukur bertujuan untuk pemerataan ekonomi dan keberlanjutan sumber daya ikan.

Ikan yang semula banyak didaratkan di Pulau Jawa, akan diubah ke pelabuhan perikanan tempat ditangkapnya ikan.  Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap juga mengatakan bahwa terdapat tiga zona yang disiapkan untuk kuota penangkapan terukur yaitu industri, nelayan lokal, dan spawning & nursery ground yang berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).[1]

Pada kebijakan penangkapan terukur yang berbasis kuota dapat menjadi dua mata pisau dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.  Pengelolaan sumberdaya perikanan pada era 20-an berfokus pada keberlanjutan.  Hal ini dibahas pada tujuan global yang terdapat pada SDGs yaitu life below water.  Dalam kondisi kontemporer mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia akan sumber pangan akan selalu beriringan dengan peningkatan penduduk.  Sehingga pangan variatif dapat menjadi solusi dalam memecahkan permasalahan ketahanan pangan.  Ketika kembali pada kasus bahwa nelayan atau industri diberi kuota dalam jumlah tangkapannya maka perlu mempertimbangkan nilai ekonomis dan nilai ekologis.

Nilai Ekonomis

Jika KKP menciptakan tajuk “pemerataan ekonomi” berdasarkan kuota jumlah tangkapan maka hal tersebut akan menciptakan kesenjangan.  Karena beberapa komoditas memiliki nilai yang berbeda – beda di pasaran.  Oleh karena itu, dalam mencapai pemerataan ekonomi maka landasan yang digunakan adalah Maximum Economic Yield. Maximum Economic Yield  adalah model pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis pada cost dan benefit sehingga batas tangkapan maksimal akan mengacu pada nilai.

Nilai Ekologis

Kembali pada tajuk yang dikeluarkan KKP yaitu terkait “keberlanjutan” maka dengan adanya penangkapan terukur berdasarkan kuota atau jumlah maka akan menimbulkan penangkapan salah satu komoditas yang bernilai tinggi saja.  Ketika suatu komoditas yang diambil secara terus menerus akan menyebabkan ketidakseimbangan secara ekologis.  Maka jika mengacu pada Maximum Sustainable Yield maka reproduksi suatu ikan akan bergantung pada usia produktif suatu spesies.  Jika usia produktif diambil secara terus  - menerus maka akan restocking ikan akan terhambat.

Sebagai akademisi, saya berharap dalam implementasi penangkapan terukur pada Januari 2022 mendatang dapat mempertimbangkan  pengkajian stok yang optimal agar tujuan mulia pemerataan ekonomi dan keberlanjutan dapat tercapai.

 



Komentar

Sebatang Cerita Populer

Sosialisasi, Edukasi, dan Advokasi Masyarakat Sekitar Pertambangan Untuk Mengurangi Angka Korban Konflik dan Kerusakan Lingkungan dalam Penerapan UU Minerba 2020

Bersinergi Mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan Komunitas Mengajar di daerah 3T