Sosialisasi, Edukasi, dan Advokasi Masyarakat Sekitar Pertambangan Untuk Mengurangi Angka Korban Konflik dan Kerusakan Lingkungan dalam Penerapan UU Minerba 2020
Di
bidang sumberdaya alam, sudah tidak diragukan lagi bahwa Indonesia menyimpan
sejuta kekayaan pada alamnya. Dengan
letak geografis di tengah ekuator, menyebabkan Indonesia beriklim tropis, sehingga
sumberdaya alam hayati maupun non-hayati dapat berkembang dan tersebar dari
Sabang sampai Merauke. Itulah sebabnya Indonesia
menjadi incaran para penjajah seperti Belanda, Inggris, Portugis dan lain-lain,
bahkan sampai saat ini masih menjadi incaran negara-negara besar untuk
mengambil sumberdaya alamnya, namun dengan cara yang lebih halus. Daya tarik sumberdaya alam Indonesia selain sumberdaya
alam hayati adalah sumberdaya alam mineral dan batu bara. Berdasarkan data statistik tercatat, potensi batu
bara 39,89 miliar ton, tembaga 2,76 miliar ton, nikel 3,57 miliar ton, logam besi
3 miliar ton, bauksit 2,4 miliar ton, perak 171.499 ton, serta timah 1,5 juta
ton.[1] Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan
bahwa potensi minerba sangat melimpah, sehingga banyak pihak (Negara maju) yang
tertarik untuk mendapatkannya.
Pertambangan
di Indonesia diibaratkan sebagai dua mata pisau, di satu sisi dapat menambah
devisa Negara, jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Di sisi lain,
ekploitasi yang tidak bertanggung jawab dapat merusak lingkungan maupun sosial
di daerah sekitar perusahaan pertambangan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengemukakan
bahwa terdapat 71 konflik di sektor pertambangan pada periode 2014-2019.[2]
Peneliti Jatam, Ki Bagus Hadikusuma juga mencatat bahwa terdapat 33 kasus
kriminalisasi dan serangan terhadap masyarakat yang menolak izin pertambangan.[3] Konflik utamanya didominasi oleh isu
lingkungan yang berujung pada konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan pertambangan,
bagi masyarakat yang menolak secara keras biasanya dikriminalisasi. Kriminalisasi
dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang aturan hukum yang
berlaku.
B.
Pasal
UU Minerba 2020 yang Berpotensi Konflik
Sektor
pertambangan adalah sektor yang sarat akan konflik, sehingga membutuhkan aturan
hukum yang tepat dan berkeadilan untuk mengurangi potensi konflik. Namun, pada tahun 2020 sektor pertambangan
dikejutkan dengan adanya perubahan undang-undang mengenai mineral dan batu bara
dari UU No 4 Tahun 2009 menjadi UU Minerba 2020 yang justru menambah potensi
konflik. Beberapa potensi konflik dalam
UU Minerba 2020, menjadi perhatian berbagai pihak seperti aktivis lingkungan,
LSM, dan bahkan para pejabat seperti Gubernur dan DPD telah melakukan penolakan
terhadap UU Minerba 2020 yang baru-baru ini disahkan. Beberapa pasal yang dianggap memiliki potensi
konflik adalah sebagai berikut:
1.
Pasal 42 dan 42A UU Minerba Tahun 2020,
tentang masa operasi yang semula hanya selama 2 tahun, dalam UU Minerba tahun
2020 diperpanjang menjadai delapan tahun dan dapat diperpanjang satu tahun
setiap kali perpanjangan (Pasal 42 dan 42A UU Minerba Tahun 2020)[4].
Pasal ini disinyalir berpeluang untuk terjadinya eksploitasi oleh korporasi
dengan mengatasnamakan eksplorasi.
2.
Dihapusnya pasal 83 ayat (2) dan (4) UU
Minerba lama yang mengatur batasan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
(WIUPK) untuk produksi pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektar dan
pasal 83 ayat (4) menyebutkan batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan
batu bara maksimal 15 hektar.[5] Dengan dihapusnya pasal tersebut, maka
menimbulkan peluang bagi perusahaan pertambangan untuk mengeksploitasi lahan
dengan skala besar tanpa batasan tertentu.
3.
Pasal 162 dan 164, kedua pasal tersebut
berpeluang untuk menjadi payung hukum untuk tindak kriminalisasi terhadap
masyarakat penolak kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab. Dalam pasal 162 menyebutkan bahwa “Setiap orang
yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK), atau Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) yang
telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan pada pasal 164 mengatur sanksi
tambahan bagi orang yang dimaksudkan pada pasal 162 dengan saksi tambahan
berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana,
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban
membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.[6] Untuk menghindari potensi pidana bagi
masyarakat yang melakukan penolakan dengan melanggar aturan yang berlaku maka
perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi.
4.
Dihapusnya pasal 165 UU Minerba lama yang memuat sanksi pidana bagi
pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat
(IPR), dan Izin Pertambangan Khusus (IUPK).
Pasal tersebut berbunyi “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau
IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan
kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda
paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah)”.[7] Dengan hilangnya pasal tersebut, maka akan
memperbesar peluang pelanggaran bagi perusahaan karena tidak ada sanksi berat
yang mereka hadapi jika terjadi pelanggaran dan memungkinkan terjadinya
eksploitasi yang berlebihan.
C. Analisis Dampak UU Minerba 2020 Kedepannya
Berdasarkan
beberapa pasal yang dianggap berpotensi konflik tersebut dapat disimpulkan
bahwa dampak yang akan ditimbulkan adalah:
1. 1. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi besar-besaran.
2. 2. Berpeluang terjadinya korupsi di dalam perusahaan
pertambangan.
3. 3. Meningkatnya kriminalisasi masyarakat yang mengalami konflik
dengan perusahaan pertambangan.
Dari ketiga poin di atas, semuanya saling berkesinambungan
dan bermuara pada kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat sekitar
pertambangan dengan perusahaan pertambangan.
A.
Metode Kegiatan
Untuk mengurangi potensi konflik dari UU Minerba 2020
kedepannya maka diperlukan sebuah metode pencegahan dan penanggulangan. Metode
yang akan dilakukan yaitu sosialisasi, edukasi, dan advokasi bagi masyarakat di
sekitar pertambangan dengan cara sebagai berikut:
a. Mengadakan inventarisasi jejaring aktivis lingkungan di berbeda-beda daerah
b. Pembahasan pasal yang berpotensi konflik pada UU Minerba 2020 oleh aktivis lingkungan
c. Sosialisasi dan edukasi pasal yang berpotensi konflik kepada masyarakat sekitar pertambangan oleh aktivis lingkungan
2. Advokasi
a. Menjadikan aktivis lingkungan tempat melapor terjadinya konflik berkaitan dengan pertambangan
b. Aktivis lingkungan melakukan pengumpulan bukti dan keterangan
c. Melaporkan kepada pihak terkait seperti polisi, komnas HAM, atau pemerintah daerah
A. Pihak Yang Terlibat
Pihak yang terlibat dalam metode kegiatan sosialisasi, edukasi, dan advokasi masyarakat sekitar pertambangan adalah:
1. 1. Aktivis lingkungan : Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau
perorangan
2. 2. Masyarakat sekitar pertambangan
3. 3. Polisi
4. 4. Komnas HAM
5. 5. Pemerintah daerah setempat
B.
Output Kegiatan
Output Kegiatan sosialisasi, edukasi, dan advokasi yang akan
dilakukan adalah:
1. 1. Meningkatnya kualitas lingkungan di area pertambangan
2. 2. Meningkatnya pemahaman masyarakat
3. 3. Menurunnya angka konflik pertambangan
4. 4. Berkurangnya praktik korupsi dalam kegiatan pertambangan
C.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa pasal UU Minerba 2020 berpotensi konflik sehingga
berpeluang terhadap peningkatan angka korban konflik pertambangan dan kerusakan
lingkungan akibat pertambangan. Oleh
karena itu, untuk mengurangi angka konflik pertambangan dan kerusakan
lingkungan akibat penerapan UU Minerba 2020 adalah dengan melakukan
sosialisasi, edukasi dan advokasi bagi masyarakat sekitar pertambangan.
Referensi
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4148273/indonesia-punya-banyak-sda-di-sektor-migas-dan-pertambangan-ini-daftarnya. Pebrianto Eka
Wicaksono. Liputan6. Indonesia Punya Banyak SDA di Sektor Migas dan
Pertambangan, Ini Daftarnya. Diakses pada 20 Agustus 2020, pukul 11.38 WIB.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e14311f6aa5a/jatam--ada-71-konflik-pertambangan-periode-2014-2019. Ady Thea DA.
Hukum Online. Jatam : Ada 71 Konflik Pertambangan Periode 2014-2019. Diakses
pada 20 Agustus 2020, pukul 13.06 WIB.
https://klikhijau.com/read/perihal-uu-minerba-yang-kontroversial-dan-dampaknya-pada-rakyat-dan-lingkungan/.
Zakiyatur
Rosidah. Perihal
UU Minerba yang Kontroversial dan Dampaknya Pada Rakyat dan Lingkungan. Diakses
ada 20 Agustus 2020, pukul 19.36 WIB
Komentar
Posting Komentar