Perlunya Pendidikan Bagi Nelayan Untuk Menghindari Patron-Klien

Image result for nelayan

Di Indonesia, nelayan penangkap ikan berjumlah 2,73 juta jiwa, pembudidaya 3,35 juta jiwa, sehingga totalnya 6,08 juta jiwa. Mereka yang menyediakan bahan pangan sebesar 80% di Indonesia dibanding dengan perikanan komersial. Mereka menangkap ikan dengan menggunakan armada kecil berjumlah 550.310 unit (98,77 Persen), sedangkan sisanya kapal > 30 GT (1,239 persen). Daya jangkauannya pun tak lebih dari 4 mil laut dengan ukuran kapal 30 GT (1,23 persen).  Tak bisa dipungkiri bahwa nelayan di Indonesia adalah penggiat ekonomi dengan jumlah yang besar.  Masyarakat perikanan adalah pondasi Blue Economy di Indonesia.
Pada faktanya, jumlah nelayan miskin di Indonesia hingga saat ini masih lebih dari 7 juta orang atau hampir seperempat dari total penduduk miskin nasional yang tesebar di sekitar 3.216 desa nelayan di wilayah pesisir tanah air.  Secara nasional, jumlah nelayan terbanyak terdapat di Propinsi Jawa Timur yakni 334.000 orang, dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni 9.000 orang. Sementara itu di wilayah Propinsi Sumatera Utara jumlah nelayan mencapai 270.000 orang dan di Kota Medan sekitar 21.000 orang.  Bisa dibayangkan bahwa Indonesia yang hampir seluruh wilayahnya diisi oleh lautan justru penggiat ekonomi di pesisir malah terjerumus dalam kemiskinan.  Bagaimana bisa Indonesia mewujudkan Blue Economy jika faktor penggeraknya saja termasuk yang membutuhkan bantuan.  Padahal jika dilihat dari data, setelah dilakukannya penangkapan illegal fishing dari tahun 2014 hingga tahun 2017 potensi lestari sumberdaya perikanan meningkat sebesar 80,60% dan hanya menurunkan jumlah nelayan miskin sebesar 3,46 persen.  Dengan potensi lestari sumberdaya perikanan yang meningkat hal tersebut tidak berdampak begitu besar terhadap kesejahteraan nelayan.  Apakah mungkin permasalahan di sektor perikanan bukan terletak pada sumberdaya perikanan, melainkan pada kehidupan masyarakat perikanannya?
Nelayan adalah kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya kelautan dan perikanan.  Jika sumberdaya melimpah otomatis mereka mendapatkan keuntungan dari penangkapan, budidaya dan olahan tradisional.  Sebaliknya, bila paceklik atau gagal panen menyebabkan mereka tidak mendapatkan keuntungan.  Jalan pintasnya adalah mereka mengutang pada juragan dan rentenir.  Imbas balik yang didapatkan tidak setimpal dengan yang dipinjam sehingga kemiskinan akan terus bertambah pada masyarakat perikanan.
Terdapat sebuah relasi bernama patron-klien yang kerap terjadi di suatu lingkup masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah.  Seorang patron (bapak buah) akan membantu seorang klien (anak buah) dalam akses pada peluang kerja atau meringankan beban utang klien.  Sebagai balasannya seorang klien akan membayar “hutang budi” dengan jasa ataupun dari hasil pekerjaanya.   
Dalam aktivitas ekonomi perikanan tangkap terdapat tiga pihak yang berperan besar yaitu:
1)     Pedagang Perantara (Pengamba) yaitu menyediakan bantuan dan pinjaman (uang) ikatan untuk Nelayan Pemilik dan Nelayan Buruh
2)     Nelayan Pemilik  yaitu menyediakan bantuan dan pinjaman untuk Nelayan Buruh
3)     Nelayan Buruh yaitu penerima bantuan dan pinjaman
Hubungan kerjasama ekonomi di antara mereka diikat oleh relasi patron-klien.  Relasi patron-klien ini berlangsung secara intensif dan terjadi dalam jangka panjang.  Hal ini menyebabkan sitem kapitalis pada masyarakat perikanan yaitu, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.  Ketika masyarakat perikanan sudah terjebak kemiskinan, mereka akan sulit mengembangkan perekonomiannya dan akan berputar di lubang setan.  Hal tersebut dapat terjadi akibat kurangnya pendidikan masyarakat perikanan sehingga sulit untuk berkembang dan mudah untuk dibodohi.
Jika ditarik garis lurus antara kemiskinan dengan pendidikan, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya saling mempengaruhi.  Dengan pendidikan yang baik, setiap orang memiliki bekal pengetahuan dan ketrampilan, mempunyai pilihan untuk mendaptkan pekerjaan, dari menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan (Ustama, 2009).  Dapat diartikan bahwa rantai kemiskinan yang terjadi pada masyarakat perikanan diakibatkan oleh tingkat pendidikan yang rendah.
Kabupaten Donggala memiliki pesisir pantai sepanjang 400 km. Penduduk yang masih mengenyam pendidikan pada semua jenjang mencapai 69,268 jiwa dan anak yang tidak bersekolah mencapai 16,047 jiwa. Penduduk yang duduk di bangku SD mencapai 43,655 jiwa. Dari jumlah tersebut, 10.642 siswa melanjutkan ke jenjang SMP atau proporsi mencapai 22.88%. Sedangkan mereka yang melanjutkan ke jenjang SMA mencapai 4.600 siswa atau proporsi mencapai 22.88% dari anak SD. Namun, mereka yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi tinggal 471 jiwa atau hanya 1.1% dari anak usia sekolah yang tidak pernah terputus dari SD. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala tahun, 2013).
Dapat dilihat dari data di atas, bahwa angka partisipasi pendidikan masyarakat perikanan termasuk rendah.  Tentunya, hal tersebut berpengaruh pada masa depan Indonesia karena kedepannya masyarakat perikanan akan mengambil peran dalam mewujudkan Blue Economy. 
Demi mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia perlu dibangun dari aktor penggerak perekonomian di pesisir.  Mereka tercekik oleh juragan dan rentenir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diakibatkan oleh kurangnya pendidikan yang berkualitas.  Perlunya negara untuk ikut andil dalam pemberdayaan masyarakat perikanan agar kesejahteraanya terjamin.  Karena jika kita tidak mulai dari akarnya untuk memberantas permasalahan bagaimana bisa Blue Economy dapat terwujudkan.

Komentar

Sebatang Cerita Populer

Sosialisasi, Edukasi, dan Advokasi Masyarakat Sekitar Pertambangan Untuk Mengurangi Angka Korban Konflik dan Kerusakan Lingkungan dalam Penerapan UU Minerba 2020

Tantangan Kebijakan Penangkapan Terukur Kementrian Kelautan dan Perikanan 2022

Bersinergi Mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan Komunitas Mengajar di daerah 3T