Korporasi vs Rakyat : Penolakan Perampasan Ruang Hidup

 


Berita terkait korporasi dengan rakyat belakangan ini menjadi topik yang sering mencuat pada kabar – kabar berita.  Kisruh yang terjadi hampir di bermacam – macam daerah di Indoensia dari Sumatra, Kalimantan dan Papua. Mungkin yang paling terkenal terkait kisruh korporasi dengan rakyat adalah pada kasus hutan adat Kinipan di Lamandau, Kalimantan Tengah dengan tagar terkenal yaitu #SaveKinipan.  Bentrokan terjadi antara rakyat adat kinipan dengan perusahaan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) sejak 2012.  Permasalahan yang terjadi adalah akibat Hak Guna Usaha (HGU) korporasi yang tidak sesuai dengan perjanjiannya sehingga mengambil lahan Hutan Adat Kinipan.  Kasus ini menjadi sesuatu yang fenomenal semenjak Ketua Adat Komuitas Laman Kinipan, Effendi Buhing ditangkap secara paksa dengan tudingan pencurian alat milik perusahaan PT SML.[1]  Pada kasus yang terjadi Effendi Buhing tidak mencuri namun menahan korporasi yang memotong pohon dengan cara diam – diam.   Selain itu terdapat bentrokan yang baru – baru ini terjadi di daerah bernama Jomboran, Sumberagung, Minggir Sleman.  Bentrokan terjadi akibat penambangan pasir yang dilakukan secara diam – diam oleh korporasi.  Pertambangan pasir yang dilakukan oleh korporasi secara masif diprediksi dapat merusak lingkungan kali progo

Penolakan – penolakan yang terjadi di berbagai daerah seringkali terjadi akibat perizinan yang diberikan tanpa ada sosialisasi dan dampak yang dapat ditimbulkan setelahnya.  Permasalahan terkait perizinan adalah tidak partisipatifnya korporasi dengan rakyat yang berada pada daerah pembangunan usaha.  Banyak izin yang tiba – tiba keluar tanpa rakyat mengetahui skemanya. Sehingga terkadang tuntutan yang disampaikan oleh rakyat adalah untuk mengecek ulang mengenai perizinan yang diberikan.  Selain itu, mengenai dampak yang dapat ditimbulkan setelahnya, menjadi dasar rakyat menolak korporasi beroperasi.  Dampak yang terjadi pada lingkungan adalah suatu hal yang sensitif karena dapat menyangkut nyawa seseorang.  Seperti beberapa kasus seperti kebakaran hutan oleh PT Monrad Intan Barakat (MIB) dan lumpur lapindo oleh PT Minarak Lapindo Jaya semuanya berpengaruh terhadap nyawa seseorang.  Kerusakan lingkungan yang terjadi seringkali dikaitkan kerusakan iklim dunia.  Karena beberapa korporasi seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit menyumbang gas emisi karbon yang berpengaruh pada penipisan ozon.

Sektor yang menuai polemik

Salah satu sektor yang sering menimbulkan bentrokan antara warga dan korporasi adalah pertambangan, khususnya pertambangan batu bara.  Mengingat batu bara menjadi komoditas utama  di Indonesia, sehingga batu bara banyak tersebar di Indonesia.  Kasus pertambangan batu bara di Indonesia seringkali mengakibatkan permasalahan dengan rakyat sekitarnya.  Permasalahan yang ditimbulkan oleh pertambangan batu bara yaitu kesehatan rakyat sekitar dan lingkungan yang rusak setelah penambangan.  Pada aspek kesehatan, pertambangan batu bara menyebabkan penyakit pernafasan seperti pneumokoniosis, asbestosis, dan silikosis yang diakibatkan oleh debu – debu yang bertebangan saat pertambangan berlangsung. Pada aspek lingkungan, tambang batu bara dapat mempengaruhi perairan di permukaan atau bawah tanah yang dapat meracuni air bersih untuk rakyat sekitar.  Sehingga rakyat sekitar kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air minum.  Selain itu, polemik lainnya adalah paska tambang yang menyisakan kubangan besar.  Terkadang banyak rakyat sekitar yang jatuh ke dalam lubang paska tambang yang belum ditutup dan meninggal.  Tahun 2017, Data Yayasan Genesis dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menunjukkan, hanya 8 perusahaan tambang batubara yang bertanggungjawab untuk reklamasi dan paskatambang. Yakni, PT. Bumi Arma Sentosa, PT. Injatama, PT. Kaltim Global, dan PT Rekasindo Guriang Tandang.  Sedangkan empat perusahaan lainnya, yakni PT Bara Adhipratama, PT. Firman Ketahun, PT. Krida Darma Andika, dan PT. Ferto Rejang. Hal ini tentu memprihatinkan karena seharusnya korporasi bertanggungjawab atas kegiatan yang telah dilakukan.  Mengingat, terdapat rakyat – rakyat yang tinggal di sekitar pertambangan.

Sektor lainnya yang menuai banyak polemik di Indonesia adalah perkebunan kelapa sawit.  Tidak dapat dipungkiri bahwa perkebunan kelapa sawit juga merupakan komoditas utama di Indonesia untuk menghasilkan minyaknya. Perkebunan kelapa sawit banyak tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua dengan luas beribu – ribu hektar. Permasalahan yang biasa terjadi antara korporasi dengan rakyat yaitu terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan, pembukaan lahan sawit dan konflik lahan antara korporasi dengan rakyat. Pada aspek lingkungan, Peneliti lingkungan Universitas Riau, Ariful Amri Msc, meneliti bahwa kerusakan tanah karena perkebunan kelapa sawit yaitu satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah.[2] Dengan rusaknya unsur hara di sebuah tanah akan berpengaruh pada kerusakan tanaman jenis lain untuk tumbuh disana.  Sehingga perkebunan kelapa sawit cenderung dapat menyebabkan penyakit – penyakit baru akibat monokulturasi tersebut.  Selain itu, pembukaan lahan sawit dengan cara pembakaran hutan dapat menyebabkan kematian flora dan fauna.  Pembakaran hutan yang luas berhektar – hektar dapat menimbulkan asap yang besar sehingga dapat menyebabkan penyakit pernafasan bagi manusia.  Beberapa kasus pembukaan lahan dilakukan secara ilegal seperti yang terjadi di Tanjung Jabung, Jambi pada tahun 2015.  Lahan seluas 129 hektar dibakar oleh perusahaan kelapa sawit.  Kasus tersebut menyebabkan dilakukannya pedendaan bagi perusahaan sebanyak 36 miliar.  Kasus pembukaan lahan kelapa sawit menjadi ketakutan bagi rakyat sekitar, karena lahan yang dibakar tidak hanya sedikit namun  beratus – ratus hingga beribu – ribu hektar.  Dengan pembukaan lahan yang luas tentunya dapat merusak aspek lingkungan dan kesehatan. Terakhir, hal yang sering menjadi perdebatan antara korporasi dengan rakyat adalah mengenai kepemilikan lahan.  Konflik lahan yang biasa terjadi adalah akibat suatu izin usaha yang tiba – tiba keluar dengan mengambil lahan rakyat sekitar tanpa ada sosialisasi.  Seperti yang terjadi di Kinipan, Kalimantan Tengah, konflik terjadi akibat penebangan hutan adat oleh PT SML dan dikonversi menjadi perkebunan sawit diluar Hak Guna Usaha (HGU).

Keseimbangan Ekonomi, Linkungan dan Kesejahteraan Manusia

Permasalahan yang terjadi antara korporasi dengan rakyat sekitar dapat menjadi permasalahan hak asasi manusia.  Karena rakyat  yang seharusnya memiliki hak untuk hidup dengan layak, tercederai oleh kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh korporasi.  Mereka yang menggantungkan hidupnya pada hasil alam untuk mencari makan dan kebutuhan hidup akan mengalami kesusahan karena lingkungan yang ditinggali telah rusak.  Seperti yang terjadi pada suku anak dalam di Kalimantan yang harus terpaksa tinggal dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 – 10 keluarga, memasang selembar plastik di pohon kelapa sawit, mereka seringkali tergesa – gesa bergerak ketika ditemukan dan dikejar oleh karyawan perusahaan.  Tidak jarang pula menyaksikan beberapa perempuan dan anak – anak Suku Anak Dalam mengemis di sepanjang jalan raya.[3] Mereka mengalami kejadian tersebut setelah PT Sari Aditya Loka beroperasi untuk menanam berhektar – hektar kelapa sawit. 

Kisruh yang terjadi antara korporasi dengan rakyat jika dilihat dasarnya terletak pada tidak terpenuhinya tiga aspek, yaitu ekonomi, lingkungan dan kesejahteraan manusia.  Korporasi – korporasi yang beroperasi untuk mengambil hasil alam di berbagai wilayah Indonesia terkadang hanya berfokus pada peningkatan ekonomi perusahaan.  Ekonomi, lingkungan dan kesejahteraan rakyat sekitar menjadi suatu hal yang abai.  Padahal seharusnya ketiga aspek tersebut menjadi sesuatu yang seimbang sehingga kisruh antara korporasi dengan rakyat dapat diminimalisir.  Maka ketika rakyat tidak mendapatkan keadilan ekonomi, lingkungan dan kesejahteraan akan menuntut kepada korporasi terkait haknya.  Karena secara tidak langsung korporasi telah merampas ruang hidup rakyat.

Pada kasus korporasi vs rakyat, korporasi yang bergerak pada sektor ekonomi ekstraktif atau berjalannya ekonomi dengan cara mengambil sesuatu dari alam tentunya ada hal yang harus dikorbankan.  Hal yang harus dikorbankan  tersebut harus diganti dan ditanggulangi dengan baik untuk mencapai ekonomi yang adil, lingkungan yang seimbang dan kesejahteraan manusia.  Transparansi terkait perizinan pembangunan usaha dan ganti rugi yang setimpal pada rakyat yang terdampak dapat menjadi kunci bagaimana korporasi dengan rakyat dapat menjalin harmoni.  Karena rakyat sejatinya hanya butuh ruang untuk menjalani dan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makanan dan tempat tinggal. 

 


Komentar

Sebatang Cerita Populer

Sosialisasi, Edukasi, dan Advokasi Masyarakat Sekitar Pertambangan Untuk Mengurangi Angka Korban Konflik dan Kerusakan Lingkungan dalam Penerapan UU Minerba 2020

Tantangan Kebijakan Penangkapan Terukur Kementrian Kelautan dan Perikanan 2022

Bersinergi Mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan Komunitas Mengajar di daerah 3T